Harta itu Memiliki Kecerdasan
  
Setahun yang lalu, dorongan saya untuk datang ke daerah  bencana ini begitu kuat. Maka saya
pun mengirim aplikasi kerja atas  sebuah iklan di suatu media. Suatu ayat yang memotivasiku;
"Katakanlah :  Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan 
orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-Anam [6] : 11).
 Berikut adalah satu hikmah yang saya peroleh.
***
“Eh, kamu dikasih gaji berapa?” Tanya rekan saya, yang juga karyawan  baru di lembaga ini.
Saya ungkapkan apa adanya, besar gaji yang  merupakan hasil negosiasi akhir dengan
layanan rekrutmen.      
“Wah, gaji saya kok lebih kecil.”
“Eh, kamu tahu ga gaji dia. Wah...gede, hebat”.
Pertanyaan dan jawaban datang silih berganti. Begitulah. Remunerasi menjadi hal yang sangat
sensitif di sini.
Remunerasi di lembaga ini ternyata tidak ada standarnya. Tergantung  siapa yang merekrut
atau atas rekomendasi siapa. Setelah saya survey,  ternyata sangat “jomplang” dan berpotensi
kontraproduktif. Saya sempat  panas juga. Kecewa dengan layanan rekrutmen yang tidak
profesional. Saya  merasa profesionalitas saya tidak dihargai, karena banyak yunior saya  digaji
lebih besar. Tapi biarlah. Saya akan jalani dulu.
Seiring waktu, banyak pegawai tahu gaji pegawai lain. Tentu dengan  saling “bergerilya” tanya
 
sana-sini, atau tanya langsung kepada yang  bersangkutan. Kecurigaan terhadap perubahan
gaya hidup dan perilaku  terus terpendam. Seorang di bagian administrasi “yang merasa
terdholimi”  pun mulai ceroboh. Kerahasiaan data personil dan gaji tidak terjaga.  Tatkala ada
yang melihat dan terperanjat, akhirnya tersebar. Ini  berpotensi menjadi bom waktu jika tidak
direspon dengan bijaksana.
  
Dan benar! Bom waktu itu akhirnya meledak. Dua edisi dari tabloid  lokal membahas “gurihnya
gaji” di lembaga tersebut dan memajang daftar  nama, jabatan dan gaji seluruh pegawai yang
berjumlah ribuan di lembaga  ini.
Masyarakat gempar. LSM geram. Kritikan dan hujatan mengalir  bertubi-tubi ke lembaga.
Elemen mahasiswa yang biasanya berdemonstrasi  menuntut penurunan harga BBM, di sini
menuntut penurunan gaji karyawan  lembaga. Mereka tidak rela dana yang diperuntukkan buat
korban tsunami,  dinikmati ramai-ramai tanpa kinerja yang jelas!
Karyawan terpecah. Yang gajinya kecil, minta agar dinaikkan. Nada pun  jadi sumbang. “Oh,
ternyata gaji mereka segitu ya. Sudah selangit,  diberi tunjangan voucher, HP, laptop, pulang ke
Jakarta diongkosin, dan  bebas pakai mobil. Kalau kinerjanya jelas sih ga papa, lha ini? 
Mondar-mandir doang!”
“Dia dong yang harusnya jadi ketua tim. Masak saya terus. Gaji dia kan lebih gede!”
“Ah, aku sekarang biasa-biasa sajalah. Percuma aku kerja capek-capek. Ga ada aturan yang
jelas.”
Yang gajinya besar, jelas ga mau turun. Mana ada gaji karyawan diturunkan?
Itulah. Dana takziyah tsunami telah menimbulkan “bola api” ke  mana-mana. Prasangka buruk,
kebencian, ghibah dan perpecahan. Tidak ada  team work. Nampaknya aja bekerja sama “demi
ummat”. Tapi yang dirasa:  sama-sama bekerja “untuk diri masing-masing”. Masya Allah.
 
***
  
Lain pengalaman saya waktu bekerja di lembaga pembangunan ummat di  Jakarta, yang juga
menerima dan menyalurkan dana takziyah tsunami.  Rasanya, masing-masing personil ingin
berbuat maksimal dan berbuat yang  terbaik untuk para korban. Saya dekat dengan pimpinan
dan punya akses  keuangan. Jadi saya tahu persis “siapa” dan bergaji “berapa”. Tidak  besar.
Wajar-wajar aja. Operasional lembaga diawasi oleh dewan syariah.  Bekerja untuk pengabdian,
bukan menumpuk kekayaan.
***
Penghasilan atau harta, terutama yang berasal dari dana publik,  sepertinya memiliki
“kecerdasan”. Tentu kecerdasan itu berasal dari yang  Maha Cerdas. Harta halal, jika tidak kita
keluarkan hak fakir miskin  didalamnya, dia akan menjadi “bara api”. Lebih-lebih harta haram,
dana  publik yang diambil tidak sah, yang “semuanya” adalah hak fakir miskin.  Ibarat “bola api
yang menyala-nyala”. Harta itu memberikan efek yang  bervariasi, bertingkat, sesuai kadar
“haram” yang dikonsumsinya.
Ini “hipotesis” yang bisa benar atau tidak. Semoga menjadikan kita lebih arif menyikapinya.
Teman-teman saya di sini, yang dulunya pernah “mengaji”, sekarang  tidak lagi. Yang dulu rajin
shubuh berjamaah ke masjid, sering absen.  Dulu pernah hafal dua juz Al-Qur’an, kini sulit
memulihkannya. Yang dulu  terjaga lisannya, kini ngaco.
Di luar sana, banyak berdiri bangunan megah dan berseliweran  mobil-mobil baru. Kota yang
dulunya sepi jadi rame. Meriah, akibat  limpahan uang berpadu dengan euphoria kebebasan.
Apakah ini suatu  keberkahan?
Keberkahan seharusnya berbanding lurus dengan manfaat dan kebaikan.  Jika ada manfaat,
maka kemiskinan pun berkurang. Namun yang terjadi;  yang miskin, jadi lebih miskin. Yang
kaya makin kaya. Jika ada kebaikan,  tidak ada lagi gadis-gadis yang cantik-cantik di sini
mengumbar aurat,  bermesum, berkhalwat, dan berpacaran secara transparan. Tiada lagi 
 
intimidasi, teror, dan sumpah palsu demi memenuhi ambisi. Jika ada  kebaikan tentu ada
sensivitas hati menerima kebaikan, dari siapapun  datangnya.
  
***
Saya bertafakkur. Jangan-jangan, dana tsunami itu telah menemukan  “kecerdasan”nya.
Bermetamorfosis menjadi bara dan bola api yang  membakarhati-hati manusia. Korban-korban
berjatuhan tanpa sadar.  Waallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar