Rabu, 18 April 2012

B.Inggris Bisnis 2

Nama : Wawan Setiawan Kelas : 4EA13
NPM : 11208277 Mata Kuliah : B.Inggris Bisnis 2

INTERNATIONAL GARMENT CORPORATION
OF INDONESIA
Jl. Panglima Polem Raya No. 21
Surabaya 10012
Ref : /LG/14F
5 April, 2012

Mr. Walter D. Spencer
Purchase Manager
Bandung Continental Hotel
14 Jln Papandayan
Bandung, 20001
Jawa Barat

Dear Mr. Walter D. Spencer,

We enclose our latest catalogue, price list and terms of payment.
May I draw your attention to the new towel which is specially designed for hotel guests.
We are able to offer you a special discount of 15 percent on all orders above Rp. 15.000.000,-
We hope you will be pleased with the catalogue we send you and look forward to receiving your first order.

Yours sincerely,


Marketing Manager

Enc : 3

Senin, 12 Desember 2011

Ibu Penjaga Moral Bangsa

"Bunda adalah yang terhebat di duniasebab ia melahirkan kehidupandan memberi nyawa pada kata cinta."
Abdurahman Faiz (Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil)
Ibu, dengan segala makna di dalamnya. Ia tidak sekadar menjadi istri dari seorang suami. Tetapi ibu merupakan cahaya bagi sebuah keluarga. Penerang jalan bagi anak-anaknya dan mitra kerja yang mendukung sang suami. Ibu, takkan pernah bisa diungkap dengan satu kata. Bahkan beribu kata juga tidak akan mampu mengungkap peran dan jasanya.

Penjaga Moral Anak

Lembaga sosial yang bernama keluarga, tentunya ditopang oleh unsur yang berperan sebagai seorang ayah dan seorang Ibu. Keluarga tidak akan menjadi kokoh dan kuat manakala salah satu unsurnya timpang. Tumbuh kembang sebuah keluarga yang sehat, baik secara jasmani dan rohani mestilah melibatkan semua unsur. Salah satu unsur yang sangat berperan adalah unsur yang bernama ibu.

Ibu, berkontribusi pada penciptaan atmosfer yang kondusif. Hilangnya peran seorang ibu tentunya berpengaruh pada atmosfer kedamaian sebuah keluarga. Sosok ibu mewarnai kebahagiaan. Atmosfer yang kondusif juga sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan kapasitas diri seorang anak. Tanpa ibu mustahil ada kesuksesan bagi seorang anak manusia.

Penat dan lelah hilang seketika manakala mendengar coletahan sang anak. Tak ada lagi letih ketika melihat senyum sang buah hati. Dengan ikatan emosional yang sangat erat, keberadaan seorang ibu tidak dapat dipisahkan dari seorang anak. Itulah mengapa juga, ibu mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembentukan fisik dan jiwa seorang anak.

Menurut sebuah studi mengenai cara pengasuhan orangtua terutama ibu ternyata berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan fisik dan mental anak. Terbukti dari penelitian terbaru yang dilakukan oleh Professor Ali Khomsan Guru Besar IPB menyimpulkan, semakin baik pola pengasuhan ibu, semakin baik pula kualitas tumbuh kembang si kecil.

Studi yang berlangsung selama 2009-2010 di sembilan provinsi dengan 2.334 responden. Dari sini diketahui, pengasuhan mayoritas anak di Indonesia dilakukan ibu. Hasilnya, dari 80 persen anak yang diasuh baik, 78 persen di antaranya berada dalam status gizi normal atau sehat (vivanews 15/12/10).

Lihatlah, kualitas tumbuh kembang seorang anak berada dalam genggaman seorang ibu. Di tengah gempuran teknologi dan informasi, ibu menjadi benteng yang bisa memfilter. Walau memang tidak sepenuhnya terbentengi, tetapi ibu (dan ayah)tentunya bisa melindungi anak dari hal-hal negatif. Membuat pagar tinggi dan mengurung sang anak tidak akan menyelamatkan anak dari hempasan gelombang teknologi. Tetapi dengan kenyamanan dari seorang ibu, arahan bijak, kepercayaan dan perlindungan akan membuat sang anak lepas dari badai negatif teknologi.

Tugas seorang ibu adalah menanamkan agama yang kuat bagi anaknya. Tanpa itu, akhlak dan moral seorang anak akan tercerai berai. Mengikat anak dengan keimanan kepada pencipta-Nya memberikan modal yang besar bagi anak menghadapi hidup. Perang pemikiran yang berkembang saat ini, sangat membuka peluang terjerembabnya akhlak dan moral seorang anak. Sang Ibu memastikan sang anak mampu mengarungi hidup dengan penuh kekuatan. Memastikan hak-hak anak tidak terabaikan, itulah fungsi ibu.

Pada usia emas, seorang anak sangat dekat dengan ibunya. Ibulah yang hampir 24 jam bersamanya. Tentunya keberadaan seorang ibu akan mewarnai sosok anak seperti apa. Jika ibunya baik dalam mendidik, membekali sang anak dengan berbagai 'senjata' akhlak dan moral tentunya anak dapat melangkah dengan penuh kepastian.

Peran Peningkatan Generasi

Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah Yang Maha Pencipta yang menjadi amanah bagi sebuah keluarga. Tidak hanya amanah yang dititipkan kepada keluarga an sich tetapi juga kepada bangsa ini. Titipan Tuhan ini tentunya harus dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, anak harus di didik, diperlakukan dengan baik, dihargai dan dicintai sepenuh jiwa.

Keberadaan seorang anak adalah sebagai penerus peradaban dan eksistensi kemanusiaan. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), dalam semua tindakan yang menyangkut anak. Kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan bagi seorang ibu. Memberikan yang terbaik merupakan keberlanjutan bagi hidup sang anak.

Pada kenyataannya, ada banyak persoalan yang melingkari masa depan generasi penerus ini. Salah satunya mengenai pelanggaran hak anak. Persoalan pelanggaran hak anak di negara ini ibarat gunung es. Tampak di permukaan hanyalah sedikit dari fakta yang sebenarnya terjadi. Komnas perlindungan anak dalam catatan akhir tahun 2009 menyebutkan bahwa kasus pelanggaran hak anak yang dilaporkan tidak saja naik secara kuantitas melainkan semakin kompleks jenis dan modus pelanggarannya. Apalagi komitmen negara belum nyata, walau sudah ada UU No 23 tahun 2002 yang menegaskan bahwa hak anak adalah bagian dari asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Pada kenyataannya belum efektif.

Berbagai masalah penyelenggaraan perlindungan anak kita temui. Dari soal eksploitasi anak dibidang kerja, dimana hasil survey Pekerja Anak di Indonesia yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) bekerjasama dengan ILO (International Labour Organization) menunjukan jumlah pekerja anak mencapai 1,7 juta anak. Anak mestinya bermain tetapi dipaksa bekerja layaknya orang dewasa. Belum lagi anak yang menjadi korban pornografi dan tayangan media yang tidak proanak, begitu banyak. Persoalan pemenuhan hak pendidikan, yang masih menyisakan pekerjaan rumah, masalah pemenuhan kesehatan yang terkait dengan gizi buruk dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, peran keluarga yang dikomandani oleh seorang ibu dan ayahlah salah satu solusi. Tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Perlu ada sinergisitas berbagai pihak. Entah itu pemerintah yang direpresentasikan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Komnas Perempuan.

Memang tidak mudah tapi pasti bisa. Mengingat persoalan ibu/ perempuan dan anak seperti benang kusut. Kesungguhan pemerintah dan masyarakat dari berbagai elemen menjadi ujung tombak keberhasilan program yang menyelesaikan masalah. Momen hari Ibu bisa menjadi refleksi sampai sejauhmana peran seorang ibu dalam memberikan 'nafas' bagi kehidupan sang anak. Nafas yang bisa memaknai hidup si anak lebih baik. Ibu sebagai 'madrasah' kehidupan. Selamanya.

Kegagalan, Berkah apa Musibah?

Kegagalan, Berkah apa Musibah?
Kegagalan selama ini dipandang sebagai sebuah kutukan yang harus dihindari. Kagagalan
mencerminkan keadaan serba susah, tidak enak, kecewa, bahkan sakit tak terkira.

Kodrat manusia adalah menghindari rasa sakit atau tidak enak. Tidak salah tentunya jika
kodrat manusia pasti menghindari sebuah kegagalan. Segala daya upaya dilakukan manusia
untuk menghindari kegagalan. Tapi mengapa manusia pada akhirnya bertemu juga dengan
kegagalan dalam hidupnya?
Setelah banyak membaca buku kisah orang sukses dan buku-buku motivasi, saya hanya bisa
menyimpulkan bahwa kegagalan adalah BENTUK KASIH SAYANG TUHAN YANG
DIBERIKAN PADA UMATNYA. Tanpa kegagalan manusia tidak akan bisa memetik pelajaran
dalam hidupnya.
Bahkan seorang pengusaha sukses tidak akan bisa meraih kesuksesan sebelum mengalami
berbagai kegagalan. Ini adalah kenyataan yang banyak dimuat dalam cerita orang-orang
sukses.Saya ingat pepatah; untuk menghasilkan nahkoda yang tangguh dibutuhkan ombak
yang besar. Pepatah ini sangat cocok sebagai gambaran betapa kegagalan dibutuhkan untuk
bisa memperoleh peningkatan kualitas hidup.
Kegagalan memang syarat utama untuk bisa sukses, tapi kegagalan juga bisa menyebabkan
hilangnya kesempatan meraih kesuksesan. Bahkan tak jarang manusia sampai bunuh diri
karena kegagalan.
Kegagalan menjadi berkah atau musibah tergantung bagaimana kita menyikapi kegagalan itu.
Jika kita mau bangkit kembali setelah mengalami kegagalan, pasti berkah yang akan kita
dapatkan. Sebaliknya, jika putus asa setelah mengalami kegagalan pasti musibah yang akan
kita dapatkan dari kegagalan itu.
Semoga bermanfaat, selamat berkarya, sukses untuk anda…..
1 / 1

Kisah Dua Sahabat

Kisah Motivasi : Kisah Dua Sahabat

Alkisah, disebuah perguruan beladiri yang terletak di atas bukit, ada dua orang murid yang
bersahabat. Biarpun tinggal di bukit yang berbeda, yan
g dibatasi oleh sebuah anak sungai, tapi jadwal rutin mereka sama. Setiap hari, keduanya
bertemu pada saat mengambil air di sungai untuk keperluan minum dan hidup mereka.
Pada suatu hari dan beberapa hari kemudian, murid yang lebih muda mulai merasa khawatir
karena dia tidak bertemu dengan sahabatnya saat mengambil air.
"Duh, jangan-jangan temanku sakit atau terjadi kecelakaan! Atau mungkin bahkan dia telah
pergi dari sini tanpa pamit?" batinnya penuh rasa gelisah.
Dengan penasaran dan niat untuk m
1 / 3Kisah Motivasi : Kisah Dua Sahabat

embantu kalau-kalau sahabatnya itu sakit atau celaka, si pemuda mendatangi bukit sebelah
untuk mencari tahu jawabannya. Tiba di sana, dia melihat sahabatnya sedang berlatih beladiri
dan pernafasan. Dia tampak sehat dan tidak kurang suatu apapun.
"Hai Kak, sudah beberapa hari ini saya tidak melihat kakak mengambil air. Saya sangat
khawatir kalau kakak sakit atau kecelakaan. Syukurlah kalau sehat-sehat saja. Tetapi kenapa
kakak tidak lagi mengambil air? Bukankah air minum dan keperluan sehari-hari masih
diperlukan?" ujar si murid muda penasaran.
"Terima kasih, Dik. Kamu lihat sendiri, kakak sehat-shat saja. Mari sini, kakak tunjukkan!"
Sambil berjalan, murid yang lebih tua ini melanjutkan," Bukannya kakak tidak butuh air lagi,
tetapi selama setahun ini, kakak telah bekerja keras di sela-sela waktu istirahat atau bila
pekerjaan bisa kakak selesaikan lebih cepat. Kakak menggali tanah mencari sumber air! Kakak
yakin, di sekitar sini pasti terdapat banyak sumber mata air dan jika kita mau mencari dan
menggali, pasti akan mendapatkan sumber air. Ternyata usaha dan keyakinan kakak tidak
sia-sia."
"Nah, sekarang kakak bisa berlatih dengan lebih giat dan mengerjakan hal-hal yang lebih
bermanfaat serta lebih menyenangkan dibandingkan dengan kegiatanmengambil air yang
setiap hari telah kita lakukan," jelas murid yang jauh lebih tua itu dengan senang.
2 / 3Kisah Motivasi : Kisah Dua Sahabat

Netter yang Bijaksana,
Murid yang lebih tua menggambarkan sosok manusia yang memiliki kesadaran lebih tinggi
untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan menyenangkan. Dia sadar, bahwa
masa depan harus dipersiapkan dari saat ini. Dia juga bersedia menempuh risiko, karena ia
percaya pada "harapan" bahwa yang akan dicapainya adalah sesuatu yang lebih besar dan
berarti.
Dengan manajemen waktu yang baik dan sikap siap berjuang dan berkorban, niscaya
keberhasilan dapat kita raih .
Salam sukses luar biasa!!!
3 / 3

Aku Terpaksa Menikahinya

Aku Terpaksa Menikahinya.....

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang
kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua
orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok
suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.
Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku
sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit
saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas
meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun
hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di
kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau
mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan
meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari
empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama
kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja
makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya
menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa
tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena
merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari
itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama
anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk
pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon
adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu
salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik
termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan
salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku
menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka
kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku
letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya
selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal,
akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang
sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan
tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan
mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena
“musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang
dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit
berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone
suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya
dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi

keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum
suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak
armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah
sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon
ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang
kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga
wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu
seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu
suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini
dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan
berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah
sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada
airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku.
Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak
mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah
itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.
Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak
teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh
perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan
terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis
tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras
membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman
tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah
mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan
vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena
aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku
sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku
hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor
cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih

dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya
hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga
besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau
aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak
memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di
dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku
tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan
sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering
berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku
tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap
bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa
alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan
meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia
sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat
meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta
maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang
mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan
begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama
ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian
suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku.

Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya
jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap
bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka,
ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh
uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun
soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris.
Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu
bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta
dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit
untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang
bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang
terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri
yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi
anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah
menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan

deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh
orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar
cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam
kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang
pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah
menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu,
cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan
belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa
sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia
pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu,
seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar
pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang
sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa
bebas dari cintanya yang begitu tulus.
http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/

Mencari Alasan Untuk Pembenaran

Mencari Alasan Untuk Pembenaran

Seorang pemuda, yang terlahir dari keluarga miskin, hidupnya hanya bermalas-malasan saja.
Saat ditanya kenapa tidak sekolah? Dia mengatakan tidak ada biaya, katanya, “Saya orang
tidak mampu, bagaimana saya bisa sekolah? Biaya dari mana?”
Kenapa tidak berbisnis?
Dia menjawab lagi, “Bagaimana mau berbisnis? Saya tidak punya modal untuk bisnis .”
Kehidupan sehari-harinya hanya habis untuk main catur, ngobrol, nongkrong, atau main kartu.
Dia juga tidak bekerja, dengan alasan susah mencari kerja. Dia tidak memulung, dengan alasan
itu adalah pekerjaan yang tidak sehat. Dia tidak menjadi kuli, dengan alasan terlalu capek.
Apakah Anda Suka Mencari Alasan Juga?
Sekarang, silahkan tengok diri Anda. Tuliskan berbagai hal yang seharusnya Anda lakukan
dimasa lalu yang belum Anda lakukan sampai saat ini. Tanyakan pada diri Anda, kenapa tidak
melakukannya? Saya yakin, Anda akan memiliki alasan untuk semuanya. Anda tidak
melakukannya karena ada alasan tertentu.
Sekarang, silahkan identifikasikan, apa saja yang masih ada kesempatan untuk dilakukan atau
apa yang perlu Anda lakukan untuk kehidupan Anda yang lebih baik. Apakah Anda akan
melakukannya? Atau merasa berat dalam hati untuk melakukannya? Kemudian Anda mencari
alasan
untuk tidak melakukannya.
“Tapi Alasan Saya Benar!”

Mungkin saja, saya tidak mengatakan alasan Anda salah, Anda memang punya alasan yang
benar. Baik alasan Anda benar atau salah, Anda tetap saja tidak melakukan yang seharusnya
Anda lakukan. Artinya, tidak peduli apakah alasan Anda benar atau salah, Anda akan selalu
menerima konsekuensinya.

“Lalu, bagaimana jika alasan saya benar-benar ada dan menghambat saya bertindak? Saya
bukan mencari alasan!”
Tentu saja, itu mungkin terjadi. Pertanyaanya, saat Anda memiliki hambatan, apa yang Anda
lakukan? Ada dua kemungkinan, pertama Anda diam, menyerah, karena Anda punya alasan
cukup untuk menyerah. Yang kedua Anda mencari solusi atau mencari alternatif. Jika yang
pertama, artinya Anda memang malas dan kalah oleh alasan.
Semua Orang Akan Memiliki Hambatan
Jika Anda memiliki hambatan, percayalah, orang lain pun sama. Orang-orang yang sukses
saat ini, dia sudah melalui berbagai hambatan di masa lalunya. Bukan berarti mereka tidak
punya hambatan, tetapi hambatan tersebut tidak dijadikan alasan untuk berhenti. Mereka tidak
pernah
mencari alasan
, bahkan kalau pun mereka memiliki alasan, mereka menghancurkan alasan tersebut. Mereka
mencari solusi dan alternatif, bukan mencari alasan.
Kisah Anak Miskin Yang Tetap Sekolah
“Kamu itu anak miskin, buat apa maksain sekolah?” tanya seorang ibu kepada si Andi yang
akan pergi sekolah.
“Justru karena saya miskin, saya harus sekolah supaya bisa berubah.” jawab anak itu.
“Walah… banyak orang sekolahan tetap miskin.. tidak jamin!” kata si ibu sambil mencibir.
“Bisa jadi bu, mungkin saja jika takdir saya miskin. Tapi saya tidak tahu. Yang penting saya

sudah berusaha dan jelas saya tidak akan bodoh jika saya sekolah.” jawab si Andi sambil pergi
ke sekolah.
Sama-sama Miskin, Tapi Sikap Yang Berbeda
Kedua pemuda yang disebutkan diatas, keduanya anak miskin. Mereka dalam kondisi yang
sama, miskin. Namun dengan sikap yang berbeda, mereka mendapatkan hal yang berbeda.
Yang satu, miskin dijadikan alasan untuk menyerah. Yang satunya lagi, kemiskinan dijadikan
motivasi untuk terus berusaha. Yang satu mencari alasan dan yang satunya lagi mencari
motivasi.
Ada Juga Yang Mencari Alasan Seperti Ini:
Si pemuda pemalas tadi, sedang main kartu di sebuah pos ronda. Tiba-tiba ada tukang bakso
lewat. Salah seorang temannya berkata,
“Akhirnya, ada tukang bakso, saya lapar nich.”
“Saya tidak suka bakso.” kata si pemalas itu sambil tetap memperhatikan kartunya.
“Kebetulan, baru dapat rezeki nich. Saya traktir semua dech. Sayang… kamu tidak suka
bakso.”
“Oh… tidak apa-apa koq, saya mau makan bakso, jika kamu memaksa.” kata si pemalas tadi
sambil tersenyum.
Bahkan, setelah bakso siap, dialah yang paling lahap. Dia bukan tidak suka bakso, dia hanya
tidak punya uang untuk membelinya.
Artinya: banyak orang yang mencari alasan dengan mengatakan tidak suka, tidak perlu, tidak
butuh, atau tidak harus untuk menutupi kemalasann

Pernahkah Anda memiliki keinginan yang kemudian Anda batalkan dalam perjalanan? Bisa jadi,
seseorang menginginkan sesuatu, namun saat sadar, usaha yang akan ditempuh akan berat,
kemudian dia membatalkan keinginan tersebut dengan mengatakan bahwa dia tidak
menginginkannya. Sekali lagi, orang seperti ini mencari alasan untuk menyerah dalam
mengejar keinginannya.
Sekarang, lupakan apakah bisa atau tidak, mungkin atau tidak mungkin, sanggup atau tidak
sanggup. Tuliskan semua keinginan yang pernah Anda inginkan dulu. Tambahkan dengan
keinginan saat ini. Lihatlah daftar Anda.
Lupakan mencari alasan. Carilah motivasi supaya Anda bisa mencapai daftar keinginan
tersebut. Carilah solusi jika ada hambatan. Carilah alternatif jalan, jika satu jalan tertutup.
Carilah bantuan teman, belajarlah jika tidak bisa, dan yang terpenting, mintalah petunjuk dan
pertolongan Allah Subhaanahu wa ta’ala. Bertindaklah, jangan mencari alasan.

Bunda, Umar Sayang Bunda

Bunda, Umar Sayang Bunda
“Bunda, kenapa Allah gak kasih kita hidup enak yah?” tanya seorang anak pada ibunya.

“Mungkin karena Allah amat sayang sama kita,” jawab bundanya dengan santun.
“Begitu ya, bunda?” Anaknya berujar.
“Iya, nak. Allah amat sayang sama kita, Allah gak mau kita terlena sama nikmat dunia,” sambil
meneteskan air mata Bundanya berujar pelan.
Sore pun menjelang, bersiaplah Umar kecil untuk pergi ke masjid dekat rumahnya.
Mengenakan peci kesayangannya dan kain sarung yang agak kumal. Langkahnya berpacu
dengan suara iqamah petang itu.Dari sudut jendela, bundanya tertegun melihat anaknya amat
riang mendengar panggilan Allah itu.
“Ayo, nak, bergegas. Jangan sampai kau telat shalat maghrib ini!” teriak bundanya dari balik
jendela.
“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum. ..” jawab Umar.
Bangga rupanya bunda Umar ini, melihat pelita kecilnya rajin ibadah. Matanya berkaca-kaca
saat teringat Ramadhan tahun yang lalu.
“Sayang, andai kau lihat anak kita saat ini, dia lucu sekali,” gumam bunda Umar dalam hati.
Melayang pikiran bunda Umar, mencoba mengingat setahun yang lalu di kamar ini. Selepas ia
tunaikan shalat maghrib, diraihnya Mushaf kecil agak kusam lalu air matanya menetes

perlahan.

“Sayang, aku rindu saat-saat itu,” lirihnya pelan sebelum membaca Ar-Rahman malam itu.
“Andai kau ada di sini sayang, melihat tingkah Umar yang lucu. Memegang pipinya yang
tembem, kau elus rambutnya yang lebat. Akhhh… Betapa nikmat, sayang. Andai Allah berikan
kesempatan kita berkumpul kembali, menikmati lantunan suaramu saat kau jadi Imam kami,
kau bacakan surat kesukaanmu, kau do’akan kami semua agar kami sehat selalu. Kau berikan
tanganmu untuk kukecup tanda baktiku untukmu. Kau elus kepala imut Umar, sayang. Andai
kesempatan itu kembali terulang.”
“Bunda, kenapa nangis?” dielusnya pipi putih Bunda oleh Umar.
“Bunda gak apa-apa kok, nak. Bunda cuma kangen sama ayah,” sambil dikecupnya kening
Umar yang baru pulang dari masjid.
“Bunda, emang ayah ke mana?” tanya polos Umar.
Sambil menitikan air mata, Bunda pun membelai kepala kecil Umar.
“Ayah udah ketemu sama Allah, nak. Ia tersenyum di sana. Ayah titip pesen kalo Umar harus
jaga Bunda. Kau mau, nak?” tanya Bunda sambil mengusap air mata.
“Mau, Bunda. Bunda kesayangan Umar. Umar pastiii jagaa bunda,” sambil tersenyum riang
Umar menjawab.
Tawa kecil pun meledak di malam sunyi itu.


“Ayo, nak. Mari kita tidur. Besok pagi-pagi kita temui ayah. Umar harus janji sama ayah bakal
jaga Bunda ya?” ajak Bunda.
“Iya, Bunda. Umar janji jaga Bunda,” mata Umar pun seraya tertutup.
“Masya Allah…” teriakku terbangun dari tidur. Tak terasa sudah hampir 3 jam aku tertidur amat
pulas. Sesaat tersadar kalau malam ini, aku bermimpi bertemu Umar dan suamiku.
“Allahu akbar…” tak terasa aku kembali meneteskan air mata.
Terkenang semua yang pernah terjadi malam ini, kecelakaan yang merengut kedua belahan
jiwa membuatku kembali menitikan air mata.
Masih ingat olehku, bagaimana senyum manis Umar sebelum berangkat shalat ke masjid.
Masih ingat olehku, bagaimana suamiku mencium keningku sebelum aku pergi tidur.
“Tuhan… Jaga belahan Jiwaku. Berilah mereka tempat yang lapang, ya Rabb. Kumpulkan
mereka sebagai umatmu yang bertakwa. Tuhan… Kumpulkan kami kembali di JannahMu. Aku
rindu Umar…” do’aku lirih menutup qiyamul lail malam ini.
Bunda sayang kalian… Tunggu bunda yah! Kita pasti akan bertemu kembali, sayang.
Laa ilaaha illaa annta subhaanaka inni kunntu minazhahaalimin. ..Laa haula walaa quwwata
illaa billaahil’aliyyil’ azhim